Mei 2012
Ujian sekolah telah usai. Namun, Amara beserta kawan-kawan lainnya masih belum benar-benar merasa merdeka. Mereka masih harus berjuang dan bersaing untuk dapat masuk perguruan tinggi yang mereka inginkan. Dan kurang seminggu ke depan merupakan hari dimana hajat akbar di sekolah mereka akan dilaksanakan, Hari Perpisahan. Hampir semua siswa antusias dalam hal ini. Berharap ini merupakan sebuah momen yang tepat untuk mengukir sebuah kenangan terindah yang ada. Namun harapan itu seakan jauh berbeda akan keadaan yang terjadi belakangan ini. Amara tiba-tiba menghilang. Tiada sedikitpun kabar darinya. Ia seakan hilang ditelan sang bumi.
Lea : ada yang tau Amara dimana gak?
Ujian sekolah telah usai. Namun, Amara beserta kawan-kawan lainnya masih belum benar-benar merasa merdeka. Mereka masih harus berjuang dan bersaing untuk dapat masuk perguruan tinggi yang mereka inginkan. Dan kurang seminggu ke depan merupakan hari dimana hajat akbar di sekolah mereka akan dilaksanakan, Hari Perpisahan. Hampir semua siswa antusias dalam hal ini. Berharap ini merupakan sebuah momen yang tepat untuk mengukir sebuah kenangan terindah yang ada. Namun harapan itu seakan jauh berbeda akan keadaan yang terjadi belakangan ini. Amara tiba-tiba menghilang. Tiada sedikitpun kabar darinya. Ia seakan hilang ditelan sang bumi.
Lea : ada yang tau Amara dimana gak?
Diandra : Iya, dia kemana ya? Dia sekarang jarang keliatan.
Annet : Aku samperin kerumahnya juga gak ada yang nyahut. Kata tetangganya rumah Amara sudah kosong beberapa minggu belakangan.
Lea : Tanya Rayyan coba, yang paling deket sama keluarga Amara kan dia.
Diandra : yaudah ayok.
*kemudian mereka menghampiri Rayyan*
Annet : Ded, kamu liat Amara gak?
Rayyan : Lho? Kalian kan teman dekatnya, kok nanya ke aku? Kebalik nih.
Lea : Kalo kami tau, kami gak mungkin nanya ke kamu. Masalahnya kami gak pernah ketemu dia lagi semenjak UN selesai beberapa minggu yang lalu.
Diandra : Jangankan ketemu, tau kabarnya saja tidak.
Rayyan : Sebenernya, aku juga gak tau dia dimana. Nomor handphonenya gak aktif. Rumahnya kosong.
*kemudian hening*
30 Mei 2012
Kedokteran? Rayyan benar-benar tak yakin akan tawaran itu. Rayyan sama sekali tak tertarik dalam bidang itu. Masih dibawah pengaruh rasa bingung yang tak karuan, Rayyan membuka laptop. Ingin menghilangkan semua penatnya. Rayyan menggerakan jemarinya merangakai sebuah URL yang sedang digandrungi remaja sebagian besar, www.facebook.com. Setelah melaluiproses log in, Rayyan telah sampai pada beranda dunia maya. Betapa terkejut saat melihat akan adanya puluhan pesan dan pemberitahuan pada akun facebooknya. Dan itu semua dari Amara.
Tante Cing: Rayyanyyy. Ada Amara di depan.
Rayyan: Iya, Bu bentar
. . . . . .
Amara: Hai Ded.
Rayyan: Ngapain lo kesini?
Amara: Sory Ded, aku ada keperluan sama keluargaku di luar kota. Dan itu mendadak banget. Dan aku nggak sempat pamit sama kamu.
Rayyan: Udah lah. Kalau lo udah nggak mau kita sahabatan lagi, bilang aja. Nggak usah kaya gitu, ngilang nggak ada kabar. Sms, e-mail, telpon nggak ada yang lo respon. keluar dari sini!
Amara: Ded, aku..
Rayyan: PERGI!!!
Juni 2013
1 tahun berlalu. Rayyan nggak pernah dengar kabar Amara lagi semenjak Rayyan mengusir Amara dari rumahnya. Rayyan membuka album foto yang ada di meja belajarnya. Halaman demi halaman di bukanya dan dengan seketika Rayyan mengingat Amara lagi.
Tante Cing: Rayyan, ada yang nyari tuh!!
Rayyan: Siapa?
Tante Cing: Amara.
. . . .
Rayyan: Ngapain lo di sini?
Tante Cing: Rayyan, ada yang nyari tuh!!
Rayyan: Siapa?
Tante Cing: Amara.
. . . .
Rayyan: Ngapain lo di sini?
Amara: aku mau minta maaf.
Rayyan: ah sudahlah. Lebih baik kamu pergi dari sini.
Amara: tapi Ded..
Rayyan: sudah pergi sana!
*Amara pergi dengan tampang sedih dan.... BRAAAK!*
Tante Cing : Rayyan! Amara, Ded, dia pingsan!
Rayyan : hah..!!!?!?!? *dengan mata melotot dan hati yang kaget bukan main* Dimana?
Tante Cing : Di gerbang depan. Anak-anak lagi ngerubungin dia tuh.
*Rayyan kemudian berlari ke TKP*
Tubuh gadis itu terbujur lemah. Wajahnya kian pucat. Mengalir darah segar dari kedua lubang hidungnya. Orang-orang di sekitarnya hanya terdiam, asyik menonton penderitaanya. Rayyan meraih pergelangan tangan Amara, mengecek nadinya. Kian melemah. Begitu juga dengan suhu tubuhnya, kian menurun.
Rayyan : Apa yang kalian lihat hah? Panggil ambulans!!! CEPAAAAT!!!! *mencak-mencak tak karuan*
Rayyan : Amara, bertahanlah...
*****
Rayyan : Apa? Kanker otak? *tercengang* Amara tidak mungkin mengidap penyakit itu. Aku tahu dia orang yang kuat. Kenapa dia nggak cerita? Kenapa Aku nggak pernah tahu tentang ini?
Rayyan : Apa? Kanker otak? *tercengang* Amara tidak mungkin mengidap penyakit itu. Aku tahu dia orang yang kuat. Kenapa dia nggak cerita? Kenapa Aku nggak pernah tahu tentang ini?
Tante Vivi : Maafkan tante, Sayang. Amara sangat sayang sama kamu. Dia melarang tante dan om untuk cerita penyakit ini ke kamu. Dia nggak pengen kamu khawatir, Nak.
Rayyan : Separah apa kankernya?
Tante Vivi : Sudah stadium akhir. Sebulan yang lalu kami mencoba untuk menjalani terapi diluar negeri. Namun, pihak kesehatan di sana sudah menyerah, Nak. Terlambat bagi kami untuk melawan kanker di tubuh Amara. Sesampainya kami di rumah, Amara langsung merengek memaksa untuk datang ke rumahmu, Nak. Alhasil, beberepa malam lalu tubuhnya kembali melemah. Kondisinya drop. Tadi pagi, saat dia sadar dan agak membaik, dia memaksa agar diantar ke tempat latihan basket tempat kamu biasa latihan. Dia bilang, dia ada janji sama kamu. Tante nggak yakin untuk ngijinin dia ketemu kamu, tapi dia memaksa. Dan sekarang *terisak*
Satu demi satu kejadian yang ada di ceritakan Tante Vivi dengan rinci meski diselai dengan isak tangis yang kunjung henti dari beliau.
Rayyan : Sabar ya, Tan. Pritha itu orang yang kuat. Tante tahu itu kan? *Menghibur Tante Vivi*
Tante Vivi : Semoga saja, Nak. Dia sudah cukup lama menderita karena kanker ini. Sudah hampir 9 tahun yang lalu. Dulu sempat pulih, dan dokter sudah menyatakan dia sembuh. Tapi kanker itu muncul lagi. *terisak*
*****
Desember 2013
Setelah 6 bulan lamanya tak sadarkan diri, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba juga. Hari itu, tepat 7 tahun hari persahabatan Amara dan Rayyan, Amara kembali membuka matanya. Memanggil Rayyan yang masih setia menungguinya selama ini.
Amara : Rayyan... *dengan suara lirih*
Rayyan : Kamu udah sadar? Aku panggilin dokter ya?
Amara : Jangan *mencegah Rayyan*
Rayyan : Kalau begitu biar aku kabari Mama dan Papamu
Amara : Jangan, gak usah. Aku gak mau bikin mereka khawatir.
Rayyan : Yasudah. Kenapa kamu gak pernah ngomong soal ini ke aku Cil? Kenapa kamu simpan semuanya sendiri?
Amara : Alasan yang sama dengan alasanku melarangmu memberitahu orang tuaku bahwa aku sudah sadar *sambil kemudian tersenyum lemah*
Rayyan : Kamu tau? Aku merasa gagal menjagamu. Aku gak ada disana saat kamu butuh, aku bahkan gak tau kalau kamu sakit.
Amara : Hahaha kamu lebay banget tau gak? Tanggal berapa ini?
Rayyan : 29 Desember cil.
Amara : Hari ini genap 7 tahun kita sahabatan.
Rayyan : Ya, aku tau.
Amara : .....
Rayyan : Kamu kenapa?
Amara : ....
Rayyan : Kamu bisu apa ya?! Woi kenapa?! Ngomong!!
Kemudian yang terdengar hanya nada panjang dari mesin pendeteksi detak jantung yang menandakan nafas gadis bertubuh mungil yang sedang terbaring dihadapannya ini tak akan pernah berhembus lagi.





Tidak ada komentar :
Posting Komentar