Loading

7 YEAR OF LOVE Part 1

lia '-' | 12:30:00 PM | |
Cerita ini saya ambil dari internet tapi sebagian besar sudah di edit :D. Cekidot.



Desember 2013

Tak bosan dan tak akan pernah bosan Rayyan menatap sesosok gadis di hadapannya. Tetap cantik, meski kini Amara tengah terbaring lemah dengan wajahnya yang pucat pasi. Entah mengapa, dalam tak kesadarannya, Rayyan seakan melihatnya tengah tersenyum. Senyum yang tak asing buatnya. Senyum yang akrab menyapa di setiap hari-hari Rayyan.
Rayyan: Aku merindukanmu. Ucapku terisak bukan untuk yang pertama kalinya.
Rayyan yakin Amara akan mendengar apa yang dia katakan, walau tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Hanya suara dari mesin pendeteksi detak jantung yang ramaikan suasana yang ada kini. Rayyan merindukannya. Benar-benar merindukannya.

28 Desember 2010

Rayyan: Amara, ada bintang jatuh!!!
Amara: Lalu?
Rayyan: Kata orang sih, kalau ada bintang jatuh segala keinginan kita akan terwujud.
Amara: Apa kamu percaya sama hal itu? Kamu kan cowo?
Rayyan: Emang cowo nggak boleh percaya begituan?! Udah deh, mending kita coba dulu ajah!!
Langit malam bersolek indah malam ini. Gemintang anggun hiasi kepekatan malamnya. Dan di bawah dekapan malamnya, Rayyan habiskan waktu bersama Amara. Seorang gadis cengeng yang periang, menyenangkan sekaligus menyebalkan. Gadis kecil keras kepala yang terus mengajak Rayyan untuk main boneka bersamanya, meski Amara tahu bahwa Rayyan seorang bocah laki-laki. Gadis cilik yang super cerewet dan mau menang sendiri.Sselalu memaksa Rayyan untuk terus memboncengnya mengelilingi kompleks perumahan, meskipun sudah mengitarinya lebih dari 5 kali.
Amara: Udah berapa lama ya kita saling kenal?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibirnya.
Rayyan : Nggak tau!! Emang kenapa? Toh, pada awalnya aku terpaksa kan mau main dan kenal sama kamu!
Amara: Bawel amat sih, aku serius,Ded!!
Rayyan: Emang siapa yang nggak serius sih?!
Amara: Jadi udah berapa lama ya kita jadi sahabat?
Rayyan: Enam tahun.
Amara: Sok tahu! Emang kamu beneran yakin?
Rayyan: mmm..
Tiba-tiba suara tante Vivi hadir memecah sunyi yang ada di antara Amara dan Rayyan.
Tante Vivi: Amara!!!!
Rayyan: Dipanggil noh, Non.
Amara: iya iya,..aku duluan ya Ded. Sampai besok.
Aku yakin banget,Cil. Kita udah deket selama enam tahun. Aku nggak bakal lupa. Nggak akan pernah lupa, Cil. Besok adalah genap enam tahun pershabatan kita. Semoga kamu juga nggak lupa ucap Rayyan dalam hati setelah sosok Amara melangkah menjauh dariku.

29 Desember 2010
*dddrrrrt.dddrrrttt.ddrrrttt
Handphone Rayyan berdering ternyata sms dari Amara. Rayyan, jangan lupa ya. Hari ini kita janjian di taman biasa. Jam 9. Oke? Aku tunggu. Begitulah isi sms dari Amara.
. . .
Sekali lagi Rayyan lirik jam tangannya. Pukul 09.05. Sampai saat ini Rayyan belum menemukan sosok Amara. Tak biasanya ia terlambat. Dia selalu tepat waktu. Padahal, tadi Rayyan sudah benar-benar terburu waktu, berusaha untuk tak terlambat walau hanya untuk kali ini saja. Kekesalan Rayyan mulai muncul. Pukul 09.15. Amara masih belum menampakkan sosoknya. Rayyan berusaha menelpon Amara tapi tidak ada jawaban darinya. Sms juga tidak di respon.
Tiga puluh menit.
Empat puluh lima menit.
Dan sekarang, hampir satu jam Rayyan menunggunya tapi Amara masih belum hadir di sini.
Rayyan: aduh.. Amara di mana yah? Sudah dari tadi aku nelpon dia tapi tidak ada jawaban. Sudah hampir 1 jam aku menunggu di sini. Jangan-jangan ada yang terjadi padanya?
Disisi lain, Amara berada di halte depan sekolah sedang menunggu Lea, Rizta, dan Diandra untuk menjemputnya. Sudah hampir 1 jam Amara menunggu.
Amara: aduh telat deh ini ketemu sama Rayyan. Handphone lowbet lagi, gimana mau kasih kabar ke Rayyan.
Tiba-tiba Amara merasa pusing, tubuhnya lemas. 5 menit kemudian Lea, Rizta, dan Diandra sudah kelihatan dari kejauhan. Belum sempat menghampiri, Amara akhirnya jatuh pingsan.
Rizta: eh..eh.. itu liat. Amara pingsan tuh.
Diandra: ah? Mana-mana?
Rizta: itu di sana di halte.
Lea: oh iya bener-bener. Buruan ke sana.
*di halte*
Diandra: Amara bangun cil.
Rizta: ini anak kenapa nih jadi pingsan begini?
Lea: nggak tau juga. Kecapean mungkin. Bawa ke rumah sakit gih.
Diandra, Rizta, dan Lea pun segera bawa Amara ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Lea menelpon Rayyan dan memberitahukan apa yang terjadi pada Amara.
Lea: Rayyan, buruan ke rumah sakit. Amara pingsan, sekarang lagi di periksa sama dokter.
Rayyan: Kenapa bisa masuk rumah sakit?
Lea: nggak tau juga. Waktu aku, Rizta dengan Diandra ke halte depan sekolah, Amara tau tau sudah pingsan di sana. Cepetan deh ke sini
Rayyan: iya..iya.. aku ke sana sekarang.
Setelah hampir setengah jam Rayyan, Rizta, Lea, dan Diandra menunggu. Akhirnya Amara sadar dan memanggil nama Rayyan dan Rayyan pun menghampirinya. Rayyan dapat melihat seutas senyum tersimpul di wajah Amara. Ia tampak pucat. Lemas.
Amara: Maafin aku yah, Ded. Kamu marah kan sama aku? Maaf banget, Maaf.
Rayyan: Nggak kok. Nggak ada yang perlu di maafin.
Amara : hari ini kan genap enam tahun kita sahabatan.
Rayyan: O.
Amara: kamu itu, awas ya.
Rayyan: Tentu aku nggak lupa, Cil.
. . . . .
Rayyan dan Amara menghabiskan seharian untuk mengulang segala cerita akan kenangan yang telah mereka jalani bersama. Segala protes Amara ajukan atas keisenganku selama ini. Dengan riang ia bercerita dan tentunya dengan senyumnya yang tak pernah hilang. Selalu hadir seperti biasanya. Senyumnya indah, meski harus hadir di wajahnya yang selalu pucat. Sejak awal mereka bertemu, memang Amara tampak pucat. Awalnya Rayyan mengira Amara mayat hidup, tap Rayyan ragu akan ada mayat hidup yang bawel dan super cerewet seperti Amara.
Amara: Kalau nanti aku nggak bisa lama-lama ada sama kamu, ataupun nggak bisa lagi main bareng kamu, kamu jangan marah sama aku.
Rayyan: Kamu ngomong apa sih?
Amara: Dengerin dulu.
Rayyan: Bodo amat!!
*malam hari*
Rizta: Ded, pulang gih sana. Udah malem, biar nanti kita-kita yang jaga Amara.
Lea: iya bener-bener. Pulang gih.
Rayyan: beneran?
Diandra: iyaa bener.
Rayyan: ya udah, aku pulang dulu.
Suasana kota Bandung makin ramai. Kerlap-kerlip lampu kota beradu indah di pinggiran jalan protocol utama. Suasana berbeda sungguh terasa saat Rayyan melangkah keluar dari gedung rumah sakit yang serba putih. Rayyan menghentikan sebuah taksi dan mengkomando sang sopir untuk bergegas menuju ke rumah karena hari makin larut.


*to be continued*

Tidak ada komentar :